Silvofishery, disebut juga sebagai aquasilviculture, silvo-aquaculture, atau wanamina, merupakan metode budidaya yang mengintegrasikan tambak air payau dengan hutan mangrove tanpa perlu menghilangkan atau mengalihfungsikan hutan mangrove yang telah ada. Silvofishery kembali menjadi perhatian semenjak adanya "demam udang" di tahun 1980-an yang berdampak terhadap hilangnya hutan mangrove di Asia Tenggara dalam jumlah yang besar. Pembukaan area untuk tambak yang tidak bertanggung jawab dengan cara membabat hutan mangrove merupakan faktor terbesar dari berkurangnya luasan hutan mangrove di dunia.
Metode silvofishery diketahui telah diterapkan oleh masyarakat pesisir di Filipina sejak tahun 1900-an. Mereka menanam pohon bakau dari spesies Rhizophora sp., Sonneratia sp., dan Nypa fruticans untuk melindungi kolam tambak dari erosi terhadap tanah yang disebabkan oleh badai dan pasang surut air laut. Di Indonesia, metode ini telah diterapkan sejak 1970-an menggunakan spesies Rhizophora sp. dan Avicennia sp. yang ditanami di sekeliling tambak dan kemudian dimanfaatkan sebagai pelindung terhadap erosi, kayu bakar, dan substrat organik. Silvofishery memungkinkan terbentuknya habitat yang memiliki produktivitas tinggi dan kelestarian alamnya tetap terjaga.
Penerapan silvofishery juga bertujuan untuk meminimalisir input berupa pakan dan obat-obatan ke dalam tambak sehingga mengurangi potensi terjadinya kontaminasi dan akumulasi limbah. Hutan mangrove juga memiliki fungsi sebagai penjernih dan penjaga kualitas air. Daerah pertambakan yang memiliki mangrove sangat mungkin memiliki suplai air yang kualitas airnya memenuhi baku mutu. Selain itu, hutan mangrove dapat menghalau limbah nutrien dan sedimen yang berasal dari buangan air tambak.
Berikut adalah contoh penerapan silvofishery di berbagai negara:
Silvofishery kembali menjadi pembahasan hangat untuk solusi akuakultur yang ramah lingkungan dan produktif berkelanjutan dikarenakan praktik pertambakan udang menghasilkan limbah buangan yang mencemari lingkungan yang terkadang jumlahnya terlalu banyak untuk dapat diatasi oleh lingkungan secara alami. Selain itu, banyak konsumen yang mulai memperhatikan kesejahteraan udang yang sampai ke piringnya, mulai dari bagaimana udang itu diperlakukan selama di tambak hingga bagaimana udang itu diperlakukan ketika dipanen. Oleh karena itu, silvofishery dapat menjadi solusi terbaik untuk pertambakan udang yang menyelaraskan keuntungan ekonomi dengan keberlangsungan lingkungan hidup.
Referensi:
Bunting, Stuart W. (2013). Principles of Sustainable Aquaculture: Promoting Social, Economic, and Environmental Resilience. Oxford, UK: Routledge.
Leung, Ping Sun, Cheng-Sheng Lee, & Patricia J. O’Bryen. (2007). Species and System Selection for Sustainable Aquaculture. Iowa, US: Blackwell.
Mustafa, Saleem & Rossita Shapawi (Eds). (2015). Aquaculture Ecosystems: Adaptability and Sustainability. West Sussex, UK: John Wiley & Sons.
SilvoFishery | silvofishery.com
Tentang penulis
Dhimas Upadyandaru bekerja sebagai Market Analyst di JALA dan merupakan lulusan Oseanografi Institut Teknologi Bandung. Ia pernah melakukan riset bersama Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut milik IPB serta memiliki minat yang tinggi terhadap sektor akuakultur, perikanan, kelautan, dan geospasial, baik dari aspek saintifik maupun aspek bisnis.
Dapatkan pemberitahuan tips budidaya, update fitur dan layanan, serta aktivitas terkini JALA.