AHPND atau Acute Hepatopanreas Necrosis Disease yang juga menjadi penyebab fenomena sindrom kematian dini (EMS) ditandai dengan kematian mendadak di usia budidaya kurang dari 40 hari. Warna udang menjadi pucat dan saluran pencernaan kosong. Hepatopankreas mengecil dan pucat jika dibedah. Langkah berikutnya untuk mengkonfirmasi adalah dengan mengambil sampel udang untuk dilakukan uji PCR di laboratorium. AHPND disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus dengan strain khusus yaitu VPAHPND. (Baca selengkapnya: AHPND)
Kenampakan gejala klinis udang yang terkena AHPND. Pada gambar ketiga huruf A dan B adalah udang yang positif AHPND dibandingkan dengan udang yang sehat (C dan D).
AHPND berawal dari China pada 2009 kemudian menyebar ke Vietnam dan Thailand. Kejadian AHPND bisa dibarengi dengan tingginya plankton. Ditandai dengan warna air hijau pekat hingga kebiruan, diindikasikan didominasi blue green algae (BGA) dan transparansi air hanya mencapai 15 cm.
Saat ini di kalangan petambak sedang hangat diperbincangkan dugaan AHPND telah mewabah di Indonesia. Konfirmasi menggunakan PCR diperlukan untuk memastikan terjadinya penyakit ini. Gugus Tugas Pengendalian AHPND pun telah dibentuk sejak 2019 lalu oleh KKP.
Saat ini juga digencarkan kembali diskusi-diskusi dan penyuluhan tentang AHPND. Salah satunya yang kemarin (16/7) dilakukan diskusi komunitas petambak (FORTEL) di Banyuwangi yang salah satu pembahasannya adalah mengenai AHPND. Dalam diskusi disampaikan isu terkini terkait dugaan AHPND dan langkah pencegahan hingga penanganan penyakit AHPND.
Diperlukan keterbukaan petambak untuk berkonsultasi dengan KKP melalui Gugus Tugas yang telah dibentuk atau komunitas sesama petambak agar dugaan penyakit ini tidak sampai meluas. Penanganan dengan melakukan upaya rangkaian biosekuriti disertai pemusnahan faktor-faktor penular dan sumber kontaminan seperti peralatan, sumber air, tanah, udang, pakan, dan personil.
Bagaimana langkah pencegahannya?
Diperlukan baiknya sistem budidaya seperti penentuan kepadatan tebar benur hanya pada kisaran 100 ekor/m2 karena semakin padat maka semakin beresiko pula terkena penyakit. Standar operasional prosedur (SOP) budidaya juga harus diperketat untuk menjaga kualitas air tetap stabil dan udang sehat. Pengecekan kualitas air dan kesehatan udang harus rutin dilakukan. Salah satunya menjaga keseimbangan plankton-bakteri. Kesehatan udang dicek dengan memastikan vibrio dalam hepatopankreas kurang dari 103. Penggunaan air budidaya harus dipastikan bebas dari bibit patogen. Sistem manajemen budidaya juga sebaiknya dilengkapi instalasi pembuangan akhir limbah (IPAL).
Berikutnya yaitu biosekuriti. Penggunaan peralatan terpisah tiap tambak, bahkan tiap kolam. Seperti anco, kincir, ember, jaring, dan lain-lain. Jika peralatan digunakan bersama maka selalu melakukan desinfeksi sesudah penggunaan. Meminimalisir pergerakan personil antar area atau kunjungan dari luar tambak. Semua fasilitas harus dipastikan tercukupi.
Apa yang harus dilakukan jika tambak saya terkena AHPND/EMS?
Jika terjadi kasus konfirmasi AHPND sebaiknya dikonsultasikan ke Gugus Tugas Pengendalian AHPND atau melakukan uji sampel ke laboratorium yang dijadikan acuan. Lihat kontak tim Gugus Tugas dan daftar laboratorium disini.
Kemudian beberapa langkah harus dilakukan oleh petambak ketika mengalami penyakit AHPND pada tambaknya. Pertama, udang yang mati dikubur agar mencegah penularan ke kolam atau tambak lain. Berikutnya air budidaya ditampung di IPAL dan diberi kaporit sebelum dibuang ke perairan umum.
Kolam didesinfeksi menggunakan kaporit 100 ppm selama 3-7 hari. Dasar kolam kemudian dibersihkan dari kotoran tersisa yang menempel di dinding atau dasar kolam. Kemudian disemprot menggunakan kaporit 15 ppm dan dikeringkan minimal 15 hari.
Semua peralatan tambak yang kemungkinan terkontaminasi seperti kincir, anco, kabel, alat kualitas air, dan jaring harus didesinfeksi menggunakan kaporit 100 ppm atau menggunakan desinfektan lain. Termasuk personil yang terlibat dalam tambak harus membersihkan diri dan pakaiannya agar tidak menjadi pembawa patogen.Pada saluran inlet atau outlet diberi kapur tohor dengan dosis 2 ton/ha.
Sebelum memulai siklus baru harus dilakukan pengecekan dasar kolam dan sumber air bebas bibit AHPND melalui tes PCR. Jika masih positif tambak digunakan untuk budidaya ikan bandeng, kakap, atau bila selama satu siklus.