
Donggala, 19 Februari 2025 - Sebagai salah satu penyuplai udang terbesar di dunia, Indonesia memerankan peran penting dalam memenuhi kebutuhan udang berkualitas secara global. Pada tahun 2024, Indonesia mencatat volume ekspor udang sebesar 202.464 ton dengan nilai 1,6 miliar USD. Namun, industri udang menghadapi berbagai tantangan, salah satunya isu lingkungan.
Praktik budi daya konvensional memiliki risiko yang signifikan bagi lingkungan, termasuk menyebabkan hilangnya hutan mangrove. Jejak karbon yang dihasilkan praktik budi daya intensif mengancam ketahanan ekosistem pesisir dan masyarakat sekitarnya. Dengan sumber daya dan lokasi geografis yang mendukung, kini saatnya bagi Indonesia untuk mengambil langkah dalam budi daya udang berkelanjutan.
Memasuki Bab Baru untuk Budi Daya Berkelanjutan
JALA, perusahaan yang menyediakan solusi rantai pasok industri udang yang inovatif, berkelanjutan dan terpercaya, berkolaborasi dengan Konservasi Indonesia, yayasan nasional yang berfokus pembangunan berkelanjutan, meluncurkan program Climate Smart Shrimp Farming (CSSF). Untuk pertama kalinya di Asia, program ini mengintegrasikan budi daya udang dengan restorasi mangrove untuk meningkatkan produktivitas sekaligus mengatasi dampak perubahan iklim. Melalui CSSF, JALA berkomitmen untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang untuk tiga aspek, yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Peluncuran CSSF dilakukan di Desa Lalombi, Kabupaten Donggala pada 19 Februari 2025. Mursidin Hi Yusuf selaku Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Donggala hadir dan memberikan sambutan. Konservasi Indonesia, Bau Toknok selaku Konsultan Lead Mangrove Restoration Project, Koperasi Tambak Sri Lestari selaku perwakilan komunitas lokal untuk mangrove, dan Yayasan Bonebula sebagai perpanjangan tangan dari koperasi turut hadir dalam acara ini. Acara peluncuran CSSF juga dibarengi dengan penanaman mangrove.
Menetapkan Standar Baru Budi Daya yang Bertanggung Jawab
Berlokasi di lahan seluas 10 hektar di Donggala, Sulawesi Tengah, program ini mendedikasikan 4.8 ha dari lahan tambak untuk pengolahan air, termasuk 3.5 ha untuk restorasi mangrove. Sisa lahan dimanfaatkan untuk membangun 12 kolam udang dengan padat tebar 200 ekor/m² dan target produksi 40 ton/ha per siklus. Estimasi total CO₂ yang diserap oleh tambak ini adalah 504 ton atau setara 137,33 ton karbon.
"Mangrove ditempatkan di dalam area budi daya untuk menyerap dan mengolah air sisa budi daya udang yang kaya akan nutrisi. Unsur hara ini juga merupakan pupuk yang baik untuk tumbuhan," kata Aryo Wiryawan, Chairman JALA. “Kami percaya bahwa dengan sistem ini, kami tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas budi daya udang."
“CSSF menggabungkan sistem pengelolaan tambak dengan ekosistem mangrove sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk menjaga produksi udang berkelanjutan,” kata Budiati Prasetiamartati, Ocean Program Director dari Konservasi Indonesia.
Harapannya, udang yang dipanen nantinya bisa memiliki nilai tambah yaitu aspek keberlanjutannya dan daya saing tinggi karena dibudidayakan dengan konsep Climate-Smart Shrimp (CSS) dan traceable melalui teknologi JALA yang diterapkan dalam manajemen tambak. Upaya ini dapat mendongkrak harga jualnya, terutama untuk pasar global.
Memaksimalkan Potensi Indonesia
Inisiatif CSSF juga diharapkan menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tengah dan Indonesia secara keseluruhan. Program ini akan membuka peluang pekerjaan serta memberdayakan masyarakat lokal.
CSSF hadir sebagai solusi budi daya udang bertanggung jawab di Indonesia dan dunia. Dengan pendekatan inovatif dan strategis, JALA dan Konservasi Indonesia berkomitmen memastikan masa depan industri udang yang lebih produktif dan berkelanjutan.