Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki tambak udang cukup banyak dan hatchery yang bervariasi. Namun pada tahun 2011 - 2013, sekitar 30%-40% dari tambak udang di Thailand terkena wabah EMS (Early Mortality Syndrome) yang menyebabkan para petambak bangkrut dan mematikan produksi udang mereka. Petambak skala kecil dan menegah adalah pihak yang paling terdampak oleh wabah ini. Dua daerah yang terdampak oleh wabah tersebut diantaranya adalah Chanthaburi dan Songkla. Produksi udang di Thailand perlahan pulih namun diperkiran tidak setinggi sebelum wabah EMS terjadi.
Nick Leonard dari Rubicon Resources, yang merupakan anak perusahaan dari Canada High Liner Foods, berbagi visinya mengenai skenario pengembangan industri udang di Thailand untuk tahun tahun mendatang. Nick Leonard juga berbagi ilmu tepat guna dalam berbudidaya udang yang ia sebut ‘Intensif 2.0’ yang merupakan metode untuk menghasilkan udang berkualitas tinggi.
Rubicon Resources adalah pemasok udang di Thailand dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Rubicon Resources juga merupakan salah satu importir udang terbesar ke Amerika Utara yang bermitra dengan lebih dari 1800 petambak. Mereka membangun rantai distribusi yang terintegrasi serta menjalin hubungan baik dengan para petambak dan pelanggan mereka.
EMS dan Budidaya Udang di Thailand
Permintaan global terhadap udang mulai meroket pada tahun 1980an - 90an, hal ini menyebabkan negara negara produsen udang mulai mengembangkan metode bertambak ‘Intensif’. Metode bertambak ini memiliki karakteristik jumlah tebar yang lebih tinggi dan menggunakan teknologi baru, hasil panen yang lebih tinggi sehingga menyebabkan munculnya banyak petambak baru. Namun praktik intensif ini menyebabkan muncul dan menyebarnya penyakit udang yang berujung pada runtuhnya budidaya udang windu di Thailand pada awal 2000an.
Karena hal ini, para petambak beralih ke budidaya spesies udang putih (vanamei) yang lebih tangguh terhadap penyakit. Udang jenis ini lebih cepat tumbuh dan dikembangbiakkan secara selektif, sehingga menyebabkan produksi udang di Thailand meningkat. Namun pada tahun 2011 - 2012, wabah EMS pertama kali masuk Thailand. Metode berbudidaya yang tidak berkelanjutan, kurangnya biosecurity, dan faktor genetika menyebabkan penyakit semakin tesebar dan merusak industri udang di Thailand. Rubicon Resources merupakan pihak yang cukup beruntung karena dapat mengurangi dampak wabah EMS selama masa sulit tersebut.
EMS menyebabkan produksi udang di Thailand turun dari 603.000 ton pada tahun 2011 menjadi 263.000 ton pada tahun 2014. Dari situlah para petambak belajar bahwa kunci untuk memproduksi udang berkualitas tinggi dan mengurangi resiko gagal panen adalah dengan menerapkan metode berbudidaya yang lebih baik yang biasa disebut ‘intensif 2.0’.
Budidaya Udang 'Intensif 2.0'
Intensif 2.0 menggunakan sistem penyaringan canggih, seperti central drain, yang dicirikan oleh adanya tampungan di tengah kolam dan pipa untuk memompa limbah keluar dari kolam. Petambak juga menggunakan teknologi aerasi untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut dengan kincir dan microbubbles untuk mencegah wabah penyakit dan mengurangi stres udang. Selain itu, intensif 2.0 menggunakan probiotik untuk meningkatkan kesehatan udang. Bakteri probiotik berperan membasmi bakteri berbahaya sehingga dapat mengurangi kemungkinan munculnya penyakit di kolam.
Wabah EMS memiliki efek yang cukup kuat terhadap komunitas petambak di Thailand, oleh karena itu Rubicon Resources mulai mendekati para petambak generasi baru dan muda yang memiliki pola pikir yang berbeda dari generasi terdahulu. Generasi baru ini memahami pentingnya praktik budidaya berkelanjutan untuk menjaga kesehatan udang. Mereka cenderung berpendidikan tinggi dan mempelajari teknik-teknik berbudidaya udang.
Dengan meningkatnya biaya berbudidaya udang, kini Thailand berfokus untuk memproduksi produk yang memiliki nilai tambah, seperti sup udang dan udang beku. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut. Produk yang dihasilkan oleh Thailand sebagian besar diekspor ke China, mengingat volume produksi udang di China yang terus menurun dan tidak mampu mengimbangi permintaan konsumsi yang semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Disadur dan diterjemahkan dari Majalah Shrimp Tails edisi 1 Maret 2018, Halaman 38-40. Baca berita asli di sini