Udang menjadi komoditas perikanan budidaya andalan bagi Indonesia. Volume produksinya memang masih jauh di bawah rumput laut, lele, nila, dan bandeng. Secara persentase, udang mengambil pangsa 6% dari total produksi perikanan budidaya Indonesia sampai tahun 2020.
Aceh merupakan wilayah dengan daerah potensial budidaya air payau terbesar di pulau Sumatera. Sayangnya, Aceh masih belum menjadi provinsi dengan penghasil produksi perikanan budidaya terbesar. Produksi perikanan budidaya Provinsi Aceh pada 2020 sebesar 139 ribu ton. Di tahun yang sama, provinsi lain mencatatkan angka yang lebih tinggi, yaitu Lampung sebesar 182 ribu ton, Sumatera Barat 246 ribu ton, Sumatera Utara 266 ribu ton, dan Sumatera Selatan 357 ribu ton.
Luasnya area potensial di Aceh
Di Aceh, total lahan potensial yang tersedia adalah seluas 171 ribu hektar, namun yang baru dimanfaatkan hanya 41,86% atau sekitar 71.500 hektar. Dibandingkan provinsi lain di pulau Sumatera, luas ini masih terpaut jauh dibandingkan dengan Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.
Selain itu, persentase pemanfaatan lahan budidaya untuk budidaya payau (tambak) juga baru mencapai 22,92%. Angka tersebut merepresentasikan pemanfaatan 679.448 hektar dari potensi yang dimiliki mencapai 2.964.331 hektar.
Upaya pemanfaatan lahan di Aceh sebelumnya dimulai melalui program klaster percontohan pada 2022 lalu oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Program tersebut merupakan upaya revitalisasi tambak tradisional untuk meningkatkan produktivitasnya.
Tantangan dalam meningkatkan produktivitas
Pemanfaatan lahan di Aceh untuk budidaya yang masih minim tidak luput dari berbagai tantangan, di antaranya:
Revitalisasi tambak tradisional
Program pengembangan lahan potensial harus sesuai dengan aspek keberlanjutan, salah satunya menjaga keberadaan hutan mangrove yang banyak ditemukan di pesisir Aceh.
Pembukaan tambak baru yang berkelanjutan
Ambisi memperluas cakupan tambak udang perlu diseimbangkan dengan membangun tambak yang paham aturan hukum dan dampak lingkungan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk meminimalisir stigma negatif dampak tambak udang. Beberapa kasus yang sudah berlalu memberitakan adanya tambak udang yang dinilai ilegal atau beraktivitas tanpa izin.
Izin menjamin pelaku budidaya akan menjalankan budidayanya mengikuti standar yang direkomendasikan, menjaga kelestarian alam, lingkungan, dan sosial serta menaati ketentuan hukum yang berlaku.
Dukungan dari seluruh rantai suplai industri udang
Salah satu kabupaten di provinsi Aceh yaitu Aceh Tamiang sempat mengalami masa kejayaan udang pada 1980-an, tetapi mengalami kemunduran bersamaan dengan tidak adanya bibit unggul yang produktif dan tahan penyakit.
Selain itu, sarana prasarana yang mendukung juga perlu diadakan. Hal ini menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah dan pelaku industri udang untuk bersama-sama memanfaatkan potensi Aceh sebagai salah satu sentra penghasil udang vaname. Ini juga mencakup dukungan pusat pengolahan produk hasil budidaya dan rantai pasoknya.
Dukungan dari para ahli untuk membina pelaku budidaya di Aceh diperlukan sehingga produktivitas dapat digenjot beriringan dengan keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Berkembangnya bisnis budidaya udang di Aceh tentu akan memberikan efek berantai termasuk kebutuhan sumber daya manusia (meningkatnya kebutuhan tenaga kerja) dan kaderisasi yang berkelanjutan untuk menjaga keberlangsungan industri.