
Budi daya udang yang bertanggung jawab dapat diwujudkan melalui pemenuhan legalitas tambak, mulai dari tanah yang digunakan untuk usaha tambak. Terkait legalitas tanah, salah satu ketentuan yang masih simpang siur adalah ketentuan tentang girik.
Awalnya, girik dan alat bukti tertulis lain, seperti petuk pajak bumi atau landrente, pipil, kekitir, dan verponding Indonesia merupakan alat bukti tertulis untuk pendaftaran hak lama. Namun, dengan berlakunya beberapa regulasi, terdapat perubahan terkait status girik.
Ketentuan Terkini tentang Bukti Kepemilikan Tanah
Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, girik bukan lagi menjadi bukti hukum untuk kepemilikan tanah. Girik hanya menjadi bukti bahwa pemegang girik membayar pajak atas bidang tanah tersebut dan bangunan di atasnya. Tidak dapat disamakan dengan sertifikat tanah yang sah.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menjelaskan girik tidak lagi berlaku jika tanah di suatu kawasan telah diterbitkan sertifikatnya. Namun, terdapat sedikit pengecualian apabila terjadi kesalahan dalam administrasi. "Jika ada cacat administrasi yang terbukti dalam waktu kurang dari lima tahun, girik masih bisa digunakan sebagai bukti," ujar Nusron seperti dikutip oleh Tempo.
Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) berlaku, girik dan alat bukti tertulis lain, seperti yang disebutkan di atas, merupakan bukti hak atas tanah. Namun, setelah UUPA dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 yang telah dicabut dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 diberlakukan, satu-satunya bukti hukum yang sah hanyalah sertifikat resmi hak atas tanah.
Dampak Terhadap Petambak Udang
Selama ini, masih banyak petambak udang yang hanya memiliki girik atau buku Letter C untuk lahan lokasi tambak mereka. Banyak juga yang tidak memiliki dokumen hukum apapun untuk membuktikan kepemilikan tanah.
Imbasnya, tambak tanpa bukti hukum kepemilikan yang resmi ini lebih berisiko menghadapi konflik. Tambak-tambak tersebut dapat digusur tanpa diberikan ganti rugi, seperti yang terjadi di Glagah, Kulon Progo.
Selain risiko penggusuran, tambak yang tidak memiliki legalitas yang jelas juga rentan terhadap sengketa lahan dengan pihak lain. Sengketa ini bisa muncul dari klaim tumpang tindih kepemilikan lahan dan perubahan rencana tata ruang wilayah. Akibatnya, petambak tidak hanya akan kehilangan mata pencaharian, tetapi juga mengalami kerugian finansial yang besar.
Salah satu kasus tindak lanjut terhadap tambak ilegal terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari 1.071 tambak udang yang aktif beroperasi di sana, 881 di antaranya tercatat ilegal, dan seluruhnya berada di Kabupaten Sumbawa.
KPK, melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V, kemudian memberikan lima (5) rekomendasi perbaikan yang disepakati dengan Pemerintah Provinsi NTB. Rekomendasi ini bertujuan agar aktivitas tambak udang tersebut beroperasi sesuai aturan dan berkontribusi terhadap pendapatan asli daerah.
Selain rekomendasi, pihak KPK juga memberikan pendampingan kepada pemerintah daerah dengan meninjau kondisi tambak udang secara langsung. Hasil peninjauan menunjukkan bahwa 90% tambak udang belum memiliki IPAL yang memadai, sistem pengelolaan limbah hanya sebatas pengendapan, serta masih banyak tambak yang membuah limbah langsung ke laut.
Pentingnya Mengantongi Legalitas Tambak
Legalitas seperti sertifikat tanah resmi serta Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB) dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPR Laut) merupakan bentuk perlindungan untuk usaha tambak. Jika mengantongi legalitas ini, petambak udang dapat menjalankan usaha tambak mereka dengan lebih aman.
Legalitas dalam usaha tambak udang juga dapat membantu meredam konflik sosial. Dengan adanya legalitas, petambak memiliki panduan dan batasan yang jelas dalam menjalankan usahanya sehingga praktik budidaya yang bertanggung jawab dapat dijamin.
Referensi
Penjelasan Kementerian Agraria soal Girik Tanah yang Tak Lagi Berlaku Mulai 2026 | Tempo