Setiap sendi kehidupan tidak terkecuali tambak udang kini mulai mengalami efek dari mewabahnya virus korona atau Covid-19. Diawali pembatasan hingga pelarangan impor oleh Tiongkok, kemudian sejak dinyatakan sebagai pandemi maka negara lain yang terdampak juga membatasi impor untuk meminimalisir persebaran virus. Semua komoditi perikanan juga terdampak.
Dimulai dengan penurunan permintaan
Restoran di beberapa negara di Eropa yang menyajikan udang sebagai menunya diprediksi akan tutup atau melakukan minimal operasi. Di Eropa, udang banyak dikonsumsi lewat restoran maka dampaknya akan menekan konsumsi udang. Selanjutnya, importir dan supplier udang di eropa akan kesulitan menjual stoknya. Importir dan supplier akan menjual stoknya terlebih dahulu sampai kondisi normal atau setidaknya ada permintaan lagi. Informasi tersebut kami dapatkan dari Willem van der Pijl, yang merupakan analis industri udang dunia dan sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Shrimp Tails.
"Lamanya waktu penutupan restoran atau minimal operasi sangat bergantung pada pemerintah setempat untuk mengatasi pandemi ini" lanjut Willem di artikel yang ditulis di halaman LinkedIn miliknya. Keputusan sementara beberapa negara Eropa menutup banyak restoran dan pusat keramaian lainnya setidaknya hingga akhir Maret atau awal April.
Kondisi cukup berbeda pada pasar retail. Penjualan udang di retail cukup melonjak terutama pada awal-awal isu pandemi Covid-19 mencapai Eropa yang mengakibatkan panic buying. Lonjakan ini juga diprediksi akan melambat karena panic buying mereda.
Hingga pertengahan tahun ini diprediksi konsumsi udang di Eropa akan turun 20%, dikarenakan Maret-April stok masih banyak. FAO pun memprediksi produksi udang dunia hingga 2020 akan lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Termasuk ekspor udang Indonesia akan tertekan seiring permintaan yang menurun.
Negara pengekspor udang segar akan mengalami dampak paling besar, karena pasar ikan dan restoran banyak yang tutup sementara. Sedangkan negara yang menyuplai produk udang dengan spesifikasi untuk produk retail mungkin akan lebih stabil.
Gonjang-ganjing perudangan di Indonesia
Meskipun kenyataannya, dari beberapa sumber berita menyebutkan bahwa laju ekspor perikanan Indonesia di awal tahun ini meningkat ke sejumlah negara. Nilai ekspor hari ini adalah hasil pesanan 2 bulan yang lalu. Bisa saja stok akan tertahan di tengah pandemi ini.
Berdasarkan data dari BKIPM, Amerika Serikat merupakan negara dengan tujuan ekspor udang Indonesia terbesar diatas Tiongkok. Sedangkan di AS, Indonesia 'hanya' nomor dua eksportir udang terbesar setelah India. Berbeda di Tiongkok, Indonesia menempati nomor empat setelah Ekuador, India, dan Argentina sebagai eksportir udang terbesar. Diawali dengan macetnya ekspor ke Tiongkok, kini tujuan ke AS dan Eropa mulai tertahan karena juga melakukan pembatasan impor.
Harga jual udang dari tambak mulai terjun. Setidaknya itulah yang terjadi dari pantauan portal harga udang. Terpantau sejak minggu ketiga Maret harga udang di berbagai wilayah mulai tertekan akibat pandemi Covid-19 yang melanda. Harga udang di beberapa negara produsen udang seperti Vietnam, Ekuador, India, dan Thailand juga mengalami penurunan. Turunnya permintaan akibat ditutupnya pintu impor oleh negara pengimpor udang seperti Tiongkok dan AS menyebabkan stok menumpuk.
Sejumlah supplier dan perusahaan cold storage atau gudang beku mengambil kebijakan dalam menghadapi isu Covid-19. Gudang beku membatasi volume produksi karena kebijakan pembatasan interaksi sosial dan pembatasan ekspor ke AS dan Eropa. Pintu impor Tiongkok dikabarkan masih ditutup. Tujuan ke Jepang masih tidak menjanjikan dari segi volume.
Menurut Sasmanu, salah satu sumber informasi yang berasal dari perusahaan cold storage, menjelaskan bahwa pada ekspor tujuan AS dan Eropa ada batasan volume ekspor. Salah satunya pembelian udang hanya size 50 keatas (size 40, 30, 20 dan seterusnya), selain itu hanya akan melakukan pemesanan sesuai kebutuhan saja. Sedangkan untuk tujuan Jepang size yang diterima cukup spesifik, yaitu size 70-50 saja. Permintaan dari pasar Jepang juga cenderung pasif. Sasmanu juga memprediksi akan terjadi kelebihan stok pada pertengahan Juni sampai akhir Juli karena banyak petambak yang melakukan panen yang memulai siklusnya pada akhir April hingga pertengahan Mei. Hal ini akan berpotensi semakin menekan harga udang di level petambak.
Beberapa perusahaan cold storage masih memutuskan tetap beroperasional hingga menyelesaikan pesanan atau kontrak dengan petambak. Selanjutnya belum akan melakukan pesanan baru hingga menunggu perkembangan selanjutnya. Beberapa perusahaan cold storage atau supplier yang lain menghentikan sementara pembelian dari petambak.
Sialnya, ibarat pepatah "sudah jatuh tertimpa tangga pula" harga pakan juga terimbas naik dikarenakan nilai tukar rupiah ke dolar naik. Beberapa pabrik besar produsen pakan udang telah menyatakan kenaikan harga. Ini adalah efek berantai dari naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kedelai dan tepung ikan yang merupakan bahan baku pakan udang masih mengandalkan impor dari negara lain. Adanya kenaikan nilai tukar rupiah dan pembatasan impor maka sebuah keniscayaan kenaikan harga jual untuk menutupi biaya produksi.
Disisi lain, ada juga skenario yang merugikan pabrik pakan. Petambak yang memutuskan panen dini atau menunda budidaya baru tentu akan menurunkan permintaan pakan. Petambak paham, jika dengan harga pakan yang naik akan menyebabkan biaya produksi membengkak.
Apa yang bisa kita lakukan?
Langkah nyata memang sangat diperlukan untuk menghadapi isu ini. Tentu saja petambak akan sangat berharap ada tindakan strategis yang dikeluarkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Selain hanya ada ajakan untuk menaikkan produksi udang, tapi dalam masa-masa sulit ini pemerintah harus mencari solusi agar petambak terhindar atau setidaknya meminimalisir mengalami kerugian.
Misalnya untuk menyerap hasil panen petambak dengan mendistribusikannya ke pasar domestik. Disertai dengan mendorong konsumsi udang dalam negeri yang tinggi, hasil panen dari petambak akan tetap mendapat permintaan. Selain itu dapat mendorong perusahaan pemroses udang menjadi produk makanan beku (frozen food) atau pemrosesan untuk pasar retail dapat menaikkan kapasitas produksinya. Tentu saja dengan mempertimbangkan kebijakan pembatasan interaksi sosial.
Pada level petambak mungkin sangat menantikan adanya perbaikan kondisi pasar ekspor dan juga mengharap ada kebijakan dari pemerintah. Namun, selagi menunggu kebijakan tersebut berikut JALA memberikan beberapa alternatif solusi yang dapat diambil oleh petambak.
- Menunda masa panen. Mempertimbangkan harga udang yang cenderung terus mengalami penurunan, maka menunda menjadi salah satu alternatif solusi. Meskipun ada kekhawatiran nantinya udang tidak bisa dipasarkan dikarenakan pembeli (importir/supplier/cold storage) tutup dengan alasan pasar ekspor masih tutup dan stoknya telah penuh. Meskipun juga tetap ada peluang harga akan membaik, terutama udang dengan size besar harganya akan lebih tinggi. Hal terpenting adalah mempertimbangkan biaya produksi.
- Melakukan panen dini. Terutama pada tambak yang telah memasuki masa panen atau udang yang ada di tambak memiliki size cukup. Hal ini untuk mengantisipasi harga jual udang yang terus turun bahkan udang dengan size besar sekalipun. Ditambah lagi ancaman biaya produksi yang makin tinggi dan tidak tertutup dengan hasil panen nantinya.
- Menunda dimulainya siklus baru. Pikir-pikir karena dengan kondisi seperti sekarang. Harga pakan naik, dan kabarnya harga benur juga naik maka akan menyebabkan biaya produksi akan membengkak. Menunggu nampaknya menjadi salah satu alternatif solusi, setidaknya hingga kondisi yang cukup kondusif untuk memulai siklus budidaya yang baru.
- Tetap melanjutkan atau memulai siklus baru, dengan optimisme pada tiga bulan kedepan kebutuhan akan udang tetap ada dan harga udang akan membaik. Namun diperlukan langkah antisipasi kemungkinan kondisi yang tidak kunjung membaik, maka sebaiknya budidaya dilakukan dengan kepadatan rendah yang meminimalisir resiko dan budidaya hanya sebagian kapasitas kolam tambak budidaya saja.
Tiongkok kini mulai bangkit dengan ditemukannya sejumlah metode penanganan wabah Covid-19. Meskipun pintu impornya belum dibuka, tetapi sudah ada harapan juga bagi negara lain bisa pulih dari bencana virus ini. Sektor perikanan harus tetap memberi makan populasi manusia dunia. Asupan protein akan terus diperlukan, terutama dalam proses pemulihan dari kondisi sakit.
"Untuk virus Covid-19, petambak tetap berhati-hati dan menjaga kebersihan. Tambak kebanyakan berlokasi di tempat yang jauh dari keramaian, operasional tambak masih bisa dibilang aman. Yang ditakutkan petambak adalah kondisi market saat ini. Yang ditakutkan petambak adalah bila sampai kejadian negara-negara tujuan ekspor udang menutup diri dan memberhentikan impor. Hal itu akan menyebabkan udang-udang yang sudah dibudidayakan tidak bisa terjual" pesan dari Rizky Darmawan Ketua Petambak Muda Indonesia (PMI) menghadapi kondisi saat ini.
Pasar udang dunia diperkirakan akan kembali normal pada Juni atau Juli, tentu dengan terus memperhatikan perkembangan pandemi Covid-19 yang diharapkan akan terselesaikan segera. Kita semua sama-sama berharap harga udang yang terus membaik. Baik dengan imbas selesainya pandemi Covid-19 dan naiknya permintaan akan udang. Salam Budidaya!
Referensi:
Under Current News. 2020. FAO Coronavirus Outbreak Overshadows Shrimp Market Outlook for 2020.
Under Current News. 2020. US Saw Spike in Shrimp Imports Ahead of Coronavirus Outbreak in China.
Willem van der Pijl. 2020. Restaurant Throughout Europe Close.