Tambak udang saat ini menjadi andalan sektor akuakultur Indonesia. Produktivitas dan nilai jual udang sangat potensial untuk menggerakkan ekonomi. Sebuah dampak positif yang disumbangkan oleh tambak udang. Namun sebagai aktivitas usaha, tambak udang menghasilkan limbah yang didominasi limbah berbentuk cair yaitu air sisa budidaya. Limbah dari tambak udang menjadi salah satu dampak negatif yang berpotensi menimbulkan pencemaran perairan.
Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan mengandung mikroorganisme patogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 58 Tahun 1995).
Limbah cair dari kegiatan pembesaran udang yang dimaksud adalah buangan air tambak yang dilakukan selama proses pembesaran sejak persiapan kolam pembesaran hingga panen. IPAL atau instalasi pengolahan air limbah sudah seharusnya dimiliki tiap unit tambak udang. IPAL adalah solusi jangka panjang untuk keberlanjutan budidaya udang dan juga kelangsungan makhluk hidup di sekitarnya.
Konsep IPAL untuk tambak udang
Limbah tambak udang utamanya berasal dari sisa pakan dan kotoran udang. Pada prinsipnya, pengelolaan limbah adalah memastikan limbah tersebut tidak lebih buruk dari lingkungannya. Cara pengelolaan limbah dari tambak dilakukan dengan:
- mengendapkan materi organik dari limbah pada petak khusus pengendapan sebelum dibuang ke perairan umum
- mengurangi kotoran yang terlalut dalam air limbah sebelum dibuang ke perairan umum dengan biofilter
- mutu air buangan tambak tidak melampaui rata-rata kadar mutu air lingkungan tempat pembuangan limbah atau sesuai dengan standar baku mutu lingkungan
Penggunaan biofilter dan bioindikator adalah cara paling murah dan mudah untuk menangani limbah budidaya. Meskipun dengan cara tersebut proses dari penguraian limbah dan penyesuaian dengan baku mutu air limbah relatif lebih lama dibanding dengan menggunakan bahan kimia dalam mengolah limbah. IPAL juga perlu dicek efektivitasnya dengan cara membandingkan nilai parameter kualitas air pada inlet dan outlet. IPAL dinilai efisien saat mencapai 60-80%.
Biofilter dan bioindikator digunakan untuk membantu menurunkan konsentrasi limbah agar sesuai baku mutu limbah sebelum dibuang ke lingkungan terbuka seperti sungai, muara, atau laut. Contoh biofilter yang dapat digunakan antara lain ikan bandeng, ikan kerapu, ikan nila, kerang hijau, rumput laut, dan ganggang. Sebagai bonusnya, biofilter bisa menjadi sumber penghasilan sampingan dari proses pengolahan limbah.
Sedimen yang tertinggal di kolam budidaya maupun petak pengendapan kemudian dikeringkan dan dapat digunakan sebagai pupuk karena kaya akan unsur hara.
Apakah benar IPAL itu mahal?
Bisa benar, bisa juga salah.
Membangun IPAL artinya harus menyediakan kolam tambahan yang akan digunakan khusus dan tidak bisa digunakan untuk budidaya. Tentu bukan pekerjaan mudah dan biaya yang murah. Namun, kesadaran dan komitmen untuk mempunyai IPAL justru menjadi hal yang paling mahal.
Adanya IPAL justru akan 'memperpanjang hidup' seorang petambak. Karena dengan adanya IPAL artinya menjaga komponen pendukung budidaya tetap ada. Misalnya, komponen paling penting dari tambak udang yaitu airnya. Saat kita menjaga keseimbangan lingkungan sekitar maka kualitas air yang dijadikan sumber air juga terjaga. Sumber air yang terjaga akan membantu petambak untuk tidak memberikan berbagai perlakuan untuk sterilisasi air sebelum digunakan untuk budidaya.
Kesimpulannya, IPAL adalah win-win solution dan bukan jadi pilihan melainkan kewajiban bagi pelaku tambak udang.