Sepanjang tahun 2020, industri budidaya udang nasional dihadapkan pada wabah penyakit Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND). Merupakan hal yang wajar jika industri budidaya udang nasional berusaha keras dalam memerangi penyakit yang satu ini. Pasalnya, penyakit ini telah berhasil memberikan dampak buruk di berbagai negara seperti Tiongkok, Thailand, Vietnam, Malaysia, Meksiko, dan Filipina.
Penyakit AHPND ini disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus yang menghasilkan toksin atau racun yang menyebabkan kerusakan jaringan dan rusaknya fungsi hepatopankreas udang, sehingga penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada udang secara tiba-tiba di usia budidaya yang masih dini. Itulah sebabnya penyakit ini juga dinamakan sindrom kematian dini atau Early Mortality Syndrome (EMS).
Berbagai metode pencegahan dan sosialisasi telah diupayakan secara maksimal oleh pemerintah dan juga masyarakat selaku praktisi budidaya udang. Tak terkecuali Bapak Sunarto yang merupakan salah seorang petambak udang di Karangrejo, Banyuwangi. Beliau secara maksimal telah berusaha menerapkan SOP pencegahan penyakit AHPND seperti penerapan biosekuriti yang ketat, tes PCR pada benur sebelum ditebar, dan persiapan kolam dan air yang matang. Hal tersebut dilakukan agar penyakit tidak menyerang udang yang dibudidayakannya.
Namun pada usia 30 hari pasca tebar, udang yang dibudidayakan mengalami kematian secara mendadak dengan gejala yang menunjukkan bahwa udang terserang oleh AHPND. Beberapa gejala yang ditunjukkan adalah saluran pencernaan yang kosong, tubuh udang berwarna pucat, serta hepatopankreas yang pucat juga mengecil dan berwarna kuning. Jumlah kematian udang pada hari tersebut mencapai ribuan ekor dan terus meningkat hingga beberapa hari setelahnya.
Meski sempat syok, namun Pak Sunarto berusaha tenang dan memutuskan untuk terus melanjutkan kegiatan budidaya sembari terus menganalisa masalah pada udangnya serta melakukan perbaikan kualitas air dengan melakukan siphon pagi dan sore serta sirkulasi air secara rutin setiap hari untuk membersihkan kotoran dan udang yang mati di dasar kolam. Penentuan perlakuan dan obat obatan dilakukan oleh beliau dengan perhitungan yang cermat baik dari sudut pandang ekonomi maupun sosial dan budidaya.
Setelah 30 hari beliau berjibaku dengan kematian udang, akhirnya berhasil mengembalikan nafsu makan udang hingga menekan jumlah kematian menjadi hanya ratusan bahkan puluhan ekor saja setiap harinya. Di akhir siklus, Pak Sunarto masih mampu mencatatkan hasil panen mencapai 1,5 ton dengan nilai SR 52% dan FCR 1,39. Meski angka kehidupan udang rendah, namun beliau berhasil membesarkan udang hingga 24 gram di umur budidaya (DoC) 82 hari.
"Saya ini ndak pintar mas, makanya saya banyak berterima kasih dengan dengan teman-teman dan pihak lain yang banyak membantu memberikan arahan dan pengetahuan. Berkat hal itu, saya bisa nekat seperti ini," ujar beliau kepada tim JALA. "Lha wong saya ini sebenernya modal nekat, bonek saya ini," tambahnya lagi sembari tertawa.
Terakhir, beliau berpesan bahwa jika kita cermat dan telaten serta mau berusaha maksimal dalam budidaya kita pasti bisa menemukan solusi yang lebih baik dalam berbudidaya. Semoga dapat menginspirasi.