Industri Udang

Pendekatan Restorative Justice dalam Tindak Pidana Terkait Pengurusan Izin Usaha Budidaya Tambak Udang

Putri Sukma Mandiri
Putri Sukma Mandiri
26 Mei 2022
Bagikan artikel
restorative-justice-approach-aquaculture-business-permits.jpg

Memahami kasus tindak pidana yang berkaitan dengan budidaya tambak

Prinsip keadilan restoratif atau restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam berbagai produk hukumnya.

Pada dasarnya, hukum yang adil dalam restorative justice adalah tidak berat sebelah, tidak sewenang-wenang, hanya berpihak pada kebenaran sesuai aturan perudang-undangan yang berlaku, serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan. Pelakunya memiliki kesempatan dalam pemulihan keadaan (restorasi) sedangkan masyarakat berperan untuk menjaga perdamaian dan pengadilan berwenang untuk menjaga ketertiban umum.

Penerapan restorative justice di Liwa, Lampung Barat

Salah satu wilayah hukum peradilan di Indonesia yang pernah menerapkan restorative justice adalah Pengadilan Negeri Liwa di Kabupaten Lampung Barat. Pada tahun 2018 lalu, Jaksa Penuntut Umum dalam Putusan Nomor 168/Pid.B/LH/2018/PN Liwa pernah menuntut seorang Petambak Udang atas perbuatannya yang diduga melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pada tanggal 13 Maret 2017, seorang Petambak Udang bernama Riza Pahlevi menyewa sebidang tanah yang terletak di Jalan Cinta Hawang Pekon, Kelurahan Parda Haga, Kecamatan Lemong, Kabupaten Pesisir Barat seluas 30.000 m² dengan jangka waktu selama 10 tahun. Tanah tersebut digunakan untuk tempat usaha budidaya tambak udang vannamei dengan kolam sebanyak 5 petak. 

Keberadaan tambak itu ternyata tidak sesuai dengan Zona Tata Ruang Wilayah peruntukan budidaya tambak karena Kecamatan Lemong, Kabupaten Pesisir Barat merupakan Zona Wilayah Pengolahan Ikan, Perikanan Tangkap, dan Pariwisata sebagaimana dengan Pasal 30 Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Barat Nomor 8 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2017–2037. Oleh karenanya, Pemerintah Kabupaten mengeluarkan surat teguran sebanyak 3 kali kepada Bapak Riza.

Jaksa Penuntut Umum juga menuntut sang Petambak dengan alas hak bahwa dokumen tambaknya tidak dilengkapi dokumen UKL–UPL dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL) sehingga kegiatan usaha miliknya memiliki potensi terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

Pertimbangan Majelis Hakim

Majelis Hakim berpendapat bahwa petambak mempunyai itikad baik untuk melakukan pengurusan izin usaha budidaya tambak udang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan. Namun, Majelis Hakim juga tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka sang petambak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Majelis Hakim melihat keseluruhan permasalahan ini tidak hanya dari aspek legalitas saja, tetapi juga dari aspek filsafat pemidanaan. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik. Pada dasarnya pidana dijatuhkan semata-mata bukan bersifat pembalasan, tetapi hendaknya juga berorientasi kepada aspek dan dimensi rehabilitasi atau pemulihan, dalam artian memulihkan kondisi atau keadaan yang terganggu akibat perbuatan yang dilakukan oleh Bapak Riza dan prevensi bagi masyarakat lainnya.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan yang ada, Majelis Hakim menilai bahwa terdapat ketidakadilan karena tidak semua usaha budidaya tambak udang ditutup secara bersamaan. Di sisi lain, usaha budidaya tambak udang Bapak Riza masih berjalan sampai sekarang dikarenakan masih adanya kewajiban untuk membayar sisa pinjaman ke Bank yang sebelumnya dipinjam sebagai modal dasar untuk membuka usaha budidaya tambak udang tersebut. Beliau juga telah berupaya mengurus berbagai perizinan yang berkaitan dengan usaha budidaya tambak udang. Selain itu, usaha tambak udang milik Bapak Riza telah membawa dampak positif bagi lingkungan sekitar lokasi tambak. Keterangan saksi-saksi dalam persidangan menerangkan bahwa banyak masyarakat setempat yang menggantungkan perekonomian pada usaha budidaya tambak udang milik Bapak Riza.

Majelis Hakim kemudian berpendapat bahwa tujuan pemidanaan diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat, Negara, korban, dan pelaku sehingga pemidanaan harus mengandung unsur yang bersifat kemanusiaan, edukatif, dan keadilan.

Pandangan tentang penerapan restorative justice untuk kasus tambak di Liwa, Lampung Barat

Keputusan Majelis Hakim dalam kasus ini menurut Penulis sangat tepat dan mencerminkan keadilan sebagai tujuan dari penegakkan hukum itu sendiri. Hal ini selaras dengan adagium yang populer di kalangan para penegak hukum “fiat justitia ruat caelum” yang memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. 

Tentang Penulis

Penulis adalah Corporate Legal JALA.

Ikuti Berita Terbaru JALA

Dapatkan pemberitahuan tips budidaya, update fitur dan layanan, serta aktivitas terkini JALA.