Tips Budidaya

Ekspansi atau Optimalisasi?

Wildan Gayuh Zulfikar
Wildan Gayuh Zulfikar
12 Mei 2023
Bagikan artikel
expansion-or-optimization.jpg

Budidaya udang berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir. Saat ini udang adalah salah satu produk seafood yang paling banyak diperdagangkan di dunia. Sejak 2014, lebih dari setengah seafood yang dikonsumsi berasal dari hasil budidaya.

Dorongan tren naiknya permintaan dari pasar membuat industri udang membuat ruang untuk berkembang bagi pelaku budidaya dan semakin dilirik investor baru. Dorongan tersebut di antaranya untuk terus meningkatkan kapasitas produksi melalui ekspansi atau akuisisi tambak baru. Namun, pemodal atau petambak perlu memahami beberapa hal sebelum benar-benar memutuskan untuk melakukan ekspansi ke lokasi baru atau optimalisasi tambak existing/idle dalam rangka mengembangkan bisnisnya.

Berbagai pertimbangan diperlukan saat memutuskan investasi tambak baru atau memperluas tambak.

  1. Efisiensi ongkos produksi. Harga lahan menjadi ongkos terbesar dalam memulai sebuah tambak udang. Setelah itu terdapat biaya tetap atau fixed cost (lahan, aset, gaji) dan biaya tidak tetap atau variabel cost (pakan, saprotam, energi).
  2. Dampak lingkungan. Harus dijadikan pertimbangan bahwa tambak berada lokasi yang ideal, mendukung budidaya, dan minim dampak negatif.

Sebisa mungkin, meminimalisir pembukaan area baru

Terlepas dari manfaat ekonominya, terdapat potensi negatif dari aktivitas budidaya udang. Salah satunya dampak dari pembukaan lahan untuk tambak dan metode budidaya udang yang tidak berkelanjutan terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati. Di Indonesia, tambak udang mendegradasi sekitar 70% hutan mangrove. Penggantian fungsi hutan mangrove dan pembuangan limbah ke perairan pesisir menjadi isu yang sering ditemui.

Tambak udang menggerakkan roda ekonomi dan pendapatan bagi masyarakat pesisir, tetapi juga berpotensi menyebabkan berubahnya ekosistem. Ekspansi yang dilakukan tanpa perencanaan matang dapat berdampak pada permasalahan sosial-ekologi. Pelajaran ini salah satunya dapat diambil dari yang dialami Bangladesh, meskipun dari dalam negeri juga ditemukan kasus serupa gesekan masyarakat dengan pengusaha tambak udang.

Dorongan untuk membuka lahan di area baru muncul akibat tambak udang yang dianggap gagal, salah lokasi, atau sudah tidak produktif akhirnya ditinggalkan dan menjadi lahan terbengkalai. Pemodal akhirnya mencari lokasi baru untuk membuka lahan baru yang dianggap akan mendatangkan keuntungan baru. Hal ini yang sebaiknya dihindari dengan mencari solusi lain yang lebih bijak.

Pembukaan lahan baru untuk tambak udang kini juga telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan agar tetap menjaga keseimbangan alam. Salah satunya dengan membangun tambak di belakang green belt. Baca juga: Pentingnya Green Belt dalam Budidaya Udang 

Optimalisasi, dengan berbagai pertimbangan

Tambak udang umumnya dikelompokkan berdasarkan tingkat intensitas produksinya. Semakin tinggi tingkat intensifikasinya maka berpeluang meningkatkan produktivitasnya. Namun, yang tidak kalah penting adalah tambak udang yang berhasil lahir dari produksi yang efisien.

Intensitas produksi berdampak besar pada penggunaan lahan. Namun, dengan meningkatnya intensifikasi budidaya akan menurunkan penggunaan lahan untuk menghasilkan udang yang lebih banyak.

Contoh kasus dari Thailand, pada 1980 sekitar 26 ribu hektar lahan digunakan untuk tambak udang menghasilkan 8 ribu ton udang. Pada 2012 total lahan tambak meningkat 2x lipat, tetapi dengan intensifikasi budidaya menghasilkan produksi 66x lipat atau menjadi 540 ribu ton.

Namun, intensifikasi bukan cara terbaik. Metode intensif rentan terhadap peningkatan risiko penyakit karena padat tebar tinggi. Peningkatan intensitas budidaya harus sejalan dengan asesmen daya dukung lingkungan di sekitarnya yang meliputi ketersediaan sumber air yang mencukupi, suplai berbagai kebutuhan budidaya yang memadai, dan kemampuan untuk mengolah limbah hasil budidaya untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan.

Cara yang lebih baik ke depan adalah dengan intensifikasi terkendali yaitu memanfaatkan teknologi untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam sambil meningkatkan produktivitas dan profitabilitas udang. Dengan memanfaatkan IoT (Internet of Things), Kecerdasan Buatan, manajemen budidaya yang integratif, petambak udang dapat memprediksi wabah penyakit dengan lebih baik dan mengontrol produktivitas, mengurangi ketidakpastian, serta meningkatkan efisiensi dan ketertelusuran. Peningkatan teknologi dalam budidaya dapat membantu dan menjadi solusi keterbatasan lahan atau sumber daya.

Hal tersebut juga sejalan dengan visi pemerintah Indonesia. Tambak yang sudah ada akan direvitalisasi untuk meningkatkan produktivitasnya ketimbang membuka lahan baru atau melakukan ekspansi. Pemerintah Indonesia berencana melakukan restorasi 300.000 hektar tambak udang idle untuk mendorong produksi sehingga dapat menekan laju deforestasi ekosistem mangrove.

Sejalan dengan manajemen yang bijak hingga pengolahan limbah yang minim dampak kepada lingkungan, pilihan untuk mengoptimalkan tambak yang sudah ada menjadi lebih baik dibanding membuka lahan baru. Optimalisasi juga dapat dilakukan dengan menggandeng petambak kecil lokal.

Akuakultur pesisir penting secara sosial, budaya, dan ekonomi, tetapi perluasannya menimbulkan konsekuensi lingkungan dan sosial yang negatif. Tantangan hadir untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar tanpa mengorbankan biodiversitas dan jasa ekosistem.

Akuakultur dianggap sebagai operasi bisnis yang sangat bergantung pada jasa ekosistem di sekitarnya., mulai dari mendapatkan sumber air hingga menggunakan jasa alam untuk mengolah limbah. Memenuhi kebutuhan nutrisi populasi manusia penting, menjaga keseimbangan sumber daya alam juga penting. Menjaga keduanya tetap pada keseimbangan dan penggunaan lahan yang efisien menjadi yang utama.

 

Referensi:
Ahmed, S. 2018. Shrimp farming at the interface of land use change and marginalization of local farmers: critical inisghts from southwest coastal Bangladesh. Journal of Land Use Science, 13(3): 251-258
Good Shrimp, Bad Shrimp: How Shrimp Farming Practices Impact The Environment. (Part 1) | RYNAN Aquaculture
Indonesia to revive idle shrimp farms to boost fisheries and save mangroves | Mongabay
WWF. A Business Case for Improved Environmental Performance in Southeast Asian Shrimp Aquaculture.
Ikuti Berita Terbaru JALA

Dapatkan pemberitahuan tips budidaya, update fitur dan layanan, serta aktivitas terkini JALA.