Permintaan udang dari pasar dunia semakin meningkat, hal ini yang menuntut produktivitas juga semakin dikebut. Berbagai metode dikembangkan demi meningkatkan produktivitas budidaya udang. Namun, seringkali prinsip keberlanjutan dari budidaya udang itu sendiri atau lingkungan diabaikan sehingga budidaya pada siklus berikutnya justru tidak mencapai target.
Minimnya kontrol terhadap kualitas air dan persebaran penyakit menyebabkan budidaya udang seringkali dianggap tidak ramah lingkungan karena air limbah tidak diolah dan dapat mencemari lingkungan akuatik di sekitarnya. Kebiasaan ini justru dapat mempengaruhi produktivitas budidaya udang. Kemudian ancaman serius datang dari bakteri vibrio yang menyebabkan penyakit hingga kematian. Kontaminasi datang dari berbagai sumber seperti pakan, sumber air, benur, dan aktivitas pekerja. Menyadari hal ini maka perlu segera mengambil langkah pengendalian.
Menghadapi serangkaian permasalahan tersebut, Kelompok Keilmuan Bioteknologi Mikrobia dari Sekolah Ilmu Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB) melakukan penelitian untuk meningkatkan produksi dan ketahanan dari serangan vibrio. Pada 20-21 November 2019 kelompok keilmuan ini mengadakan seminar dan workshop bertajuk "New Approach in Controlling Vibriosis for Superintensive Shrimp Production". Tim ini dipimpin oleh Prof. Dr. Pingkan Aditiawati dengan anggota diantaranya Dr. Gede Suantika dan Dr. Dea Indriani Astuti serta bekerja sama dengan Prof. Yasunori Tanji dari Tokyo Institute of Technology. Sejauh ini ada tiga inovasi yang sedang dilakukan, yaitu pengembangan budidaya sistem tertutup, penggunaan pakan sinbiotik, dan bakteriofaga sebagai biokontrol vibrio.
Demi meningkatkan produksi sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya alam, melalui Dr. Gede Suantika dikembangkan sistem tertutup (closed system). Dalam sistem tertutup dikembangkan 3 sistem di dalamnya yaitu zero water discharge (ZWD), recirculation aquaculture system (RAS), dan hybrid system (ZWD+RAS). Kesamaan dari ketiga sistem tertutup adalah dapat meminimalisir pergantian air dan materi organik. Meminimalisir pergantian air dilakukan dengan mengolah air yang ada sedemikian rupa termasuk mengolah materi organik di dalamnya dengan memanfaatkan konsorsium mikroba.
Konsorsium mikroba menjadi andalan dalam pengembangan sistem tertutup ini. Konsorsium ini terdiri dari probiotik, bakteri nitrifikasi, dan mikroalga. Kombinasi ketiganya diklaim mampu menjaga stabilitas kualitas air khususnya materi organik di kolam tambak udang dan menekan populasi bakteri vibrio.
Melalui sistem ini kualitas air menjadi fokus utama, sedangkan mengontrol penyakit menjadi langkah yang mengikutinya. Kesehatan ekosistem dijaga sehingga penyakit seperti sindrom vibriosis tidak terjadi. Berdasar penelitian yang dilakukan, hal terpenting adalah menjaga persentase bakteri vibrio tidak melebihi 10% dari total bakteri.
Menjaga populasi vibrio penting dalam rangka menahan mekanisme quorum sensing. Quorum sensing (QS) merupakan 'bahasa' yang digunakan bakteri dalam berkomunikasi sesamanya, ketika komunikasi ini terjadi maka saat itulah penyakit muncul. Memutus QS salah satunya dengan enzim lactonase yang ternyata diproduksi oleh bakteri probiotik (Bacillus spp.) dan bakteri yang terdapat di dinding sel diatom.
Menjaga kualitas air tetap stabil kemudian didukung meningkatkan nilai kesintasan (SR) udang dan pertumbuhan udang dengan pemberian pakan sinbiotik. Nilai SR yang baik serta pertumbuhan udang sesuai target akan meningkatkan produksi udang. Pakan sinbiotik adalah pakan dengan kombinasi prebiotik dan probiotik. Sinbiotik tengah dikembangkan memanfaatkan prebiotik berupa alga merah yang banyak ditemukan di pantai Indonesia kemudian difermentasikan. Probiotik yang digunakan juga yang umum digunakan ditambah dengan satu jenis bakteri yang sedang diteliti efektivitasnya. Dr. Gede Suantika berjanji ke para petambak yang hadir pada seminar dan workshop bahwa formulasi pakan sinbiotiknya akan segera rilis ke umum pertengahan tahun 2020.
Metode berikutnya yang sedang dikembangkan dalam melawan bakteri vibrio yaitu menggunakan bakteriofaga. Bakteriofaga atau faga merupakan virus yang dapat 'memakan' bakteri. Faga akan ditargetkan merusak sel vibrio kemudian menurunkan populasi vibrio. Penggunaan faga lebih aman dalam pengendalian bakteri patogen karena kerjanya spesifik pada bakteri tertentu, tidak mudah menghasilkan bakteri resisten terhadap faga, dan mampu memberikan kesempatan bakteri lain untuk tumbuh.
Faga ini dijadikan biokontrol vibriosis dengan menambahkannya langsung ke dalam air kolam atau disuntikkan kepada udang. Hingga saat ini faga yang spesifik menyerang spesies vibrio tertentu masih dalam penelitian kelompok keilmuan bioteknologi mikroba SITH ITB. Serangkaian inovasi dari peneliti dari ITB ini sudah ditunggu oleh segenap pelaku budidaya udang, sehingga sangat diharapkan menjadi salah satu solusi untuk semakin meningkatkan produktivitas udang Indonesia.
Dalam seminar dan workshop ini dihadiri oleh beberapa pelaku budidaya udang di Indonesia. Acara ini disambut begitu baik semua pihak karena akan menjaga sinergitas antara peneliti dan pelaku budidaya udang. Inovasi-inovasi yang dilakukan peneliti harus selalu diuji di kondisi sebenarnya di tambak, maka tidak sedikit petambak yang hadir antusias dan juga menyatakan kesediaannya untuk mencoba inovasi yang masih dalam tahap pengembangan ini. Semua ini demi meningkatnya produktivitas budidaya udang di Indonesia sekaligus tetap menjaga keberlanjutan budidayanya.