Persetujuan Lingkungan adalah salah satu dokumen perizinan penting yang perlu menjadi perhatian pelaku usaha tambak udang. Dokumen ini merupakan izin yang wajib dimiliki setiap usaha yang memiliki dampak terhadap lingkungan. Dengan memiliki Persetujuan Lingkungan, pelaku usaha telah memegang salah satu persyaratan dasar untuk perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah.
Informasi mengenai Persetujuan Lingkungan disampaikan oleh Maurinus Roy Anggun Cahyadi, ST., M.Si. dari Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Beliau hadir sebagai narasumber sesi kedua dalam webinar SHRIMPS TALK: Mengenal Budidaya Udang Lebih Dekat ke-16 yang diadakan JALA pada 25 Juni 2024 lalu.
Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha
Perizinan berusaha masih erat kaitannya dengan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Omnibus Law). UU tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing investasi Indonesia melalui kemudahan proses perizinan berusaha. Dengan prinsip “trust, but verify”, pemerintah percaya terhadap data yang disampaikan para pelaku usaha, tetapi tetap melakukan proses pengawasan setelahnya.
Sebelum mendapat perizinan berusaha, pelaku usaha perlu memenuhi tiga (3) persyaratan dasar berikut:
- Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR)
- Persetujuan Lingkungan (PL)
- Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi (PBG dan SLF)
Setelah ketiga persyaratan di atas terpenuhi, perizinan berusaha sudah dapat diterbitkan. Jika UU No. 32 Tahun 2009 mewajibkan pelaku usaha untuk memiliki Izin Lingkungan, UU Cipta Kerja mengintegrasikan tujuan dan fungsinya ke dalam perizinan berusaha.
Penerbitan Perizinan Berusaha
Proses perizinan berusaha didasarkan pada tingkat risiko usaha kegiatan, yaitu kecil, menengah, dan tinggi. Tingkat risiko tidak menggambarkan aspek lingkungan atau dokumen lingkungan. Tingkat risiko perizinan berusaha hanya untuk menentukan jenis perizinan berusaha yang harus dipenuhi.
Sementara itu, setiap pelaku usaha diwajibkan memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang masuk di dalam sistem One Single Submission (OSS). Pada bagan di bawah, Maurinus memberi gambaran bahwa setiap kegiatan usaha memerlukan dokumen lingkungan. Di dalamnya terdapat pengaturan tersendiri terkait dokumen lingkungan, yaitu Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL) yang harus dipenuhi.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 mengatur tentang Kewenangan Penerbitan Persetujuan Lingkungan. Secara spesifik, peraturan mengenai wajib AMDAL diatur dalam pasal 79, sedangkan wajib UKL-UPL dalam pasal 57. Dalam PP tersebut juga disebutkan bahwa kewenangan sesuai dengan proses perizinan berusaha. Misalnya, perizinan berusaha diterbitkan oleh Gubernur, maka pelaku usaha perlu mengirim permohonan kepada Gubernur terkait untuk meminta Persetujuan Lingkungan.
Sementara itu, tambak udang mengacu pada kegiatan pembesaran krustasea air payau dalam PP No. 05 Tahun 2021. Kewenangan penerbitan juga didasarkan pada parameter lokasi dan aktivitas yang bersinggungan dengan wilayah laut. Apabila lokasi usaha berada di satu kabupaten/kota, kewenangan ada di Bupati/Wali Kota, sedangkan jika berada di lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, kewenangan ada di Gubernur. Kemudian jika lokasi berada di lintas provinsi dan menggunakan tenaga kerja asing, kewenangan ada di Menteri.
Konsep Screening Kegiatan Usaha Tambak
Jika kawasan tambak udang berada di sempadan pantai, petambak perlu memastikan ke Dinas PUPR setempat apakah sempadan pantai tersebut termasuk di kawasan lindung. Jika benar ditetapkan sebagai kawasan lindung, kegiatan tambak wajib mengantongi AMDAL.
Sementara itu, skala besaran kewajiban pemenuhan dokumen lingkungan dapat disimak pada poin-poin di bawah ini.
- Jika besaran tambak >500 Ha, petambak harus menyusun AMDAL.
- Jika besaran tambak 10-500 Ha, petambak perlu menyusun UKL-UPL.
- Jika besaran tambak ≤10 Ha, petambak cukup menyusun SPPL yang akan terintegrasi otomatis dengan NIB.
Mekanisme Penyusunan dan Penilaian Dokumen Lingkungan
Dibandingkan dokumen lingkungan yang lain, proses penyusunan AMDAL lebih panjang karena membutuhkan pengisian formulir kerangka acuan. Menurut estimasi Maurinus, waktu yang dibutuhkan kurang lebih 250 hari sampai terbitnya SKKL.
Sementara itu, permohonan UKL-UPL terdiri dari dua proses berdasarkan tingkat risikonya. Untuk tingkat risiko menengah rendah, formulir dan persetujuan lingkungan diterbitkan otomatis oleh sistem. Untuk menengah tinggi, prosesnya terbagi menjadi dua, melalui sistem dan pembahasan.
Pengenaan DELH/DPLH dan Perubahan Persetujuan Lingkungan
Kegiatan usaha yang sudah berjalan tanpa memiliki AMDAL dan UKL-UPL sebelum berlakunya PP No. 22 Tahun 2021 akan dikenakan sanksi. Sanksi tersebut berupa penyusunan Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) atau Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH).
Di sisi lain, dokumen lingkungan hidup yang dimiliki pelaku usaha sebelum berlakunya PP No. 22 Tahun 2021 dinyatakan tetap berlaku, menjadi prasyarat, serta termuat dalam perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah.
Terdapat kebijakan tertentu bagi pelaku usaha yang sudah memiliki persetujuan lingkungan sebelum berlakunya PP No. 22 Tahun 2021 dan berencana mengubah komponen kegiatan. Apabila pelaku usaha ingin menambah atau meningkatkan komponen kegiatan, seperti luas lahan dan alat produksi, maka pelaku usaha perlu mengubah persetujuan lingkungan yang dimiliki.
Persetujuan Teknis
Di akhir penjelasannya, Maurinus juga menjelaskan mengenai Persetujuan Teknis (Pertek). Pertek mengatur mengenai pengolahan limbah domestik cair yang akan dibuang ke badan air. Jenis Pertek bermacam-macam, misalnya Pertek air limbah dan Pertek emisi. Pertek yang diperlukan untuk usaha tambak udang adalah Pertek air limbah.
Saat ini, Pertek telah diintegrasi ke Persetujuan Lingkungan. Integrasi ini membuat proses perizinan berusaha menjadi lebih efektif dan efisien karena memangkas birokrasi perizinan.
Nantikan Webinar SHRIMPS TALK Berikutnya!
Pada SHRIMPS TALK yang ke-16 ini, JALA juga menghadirkan Ir. Hardi Pitoyo, praktisi tambak udang dari Shrimp Club Indonesia, untuk berbagi mengenai budidaya berkelanjutan. Kedua sesi diskusi ditanggapi dengan sangat antusias oleh para peserta yang hadir, tampak dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Webinar SHRIMPS TALK dari JALA hadir untuk menjadi wadah diskusi antara pelaku industri udang dan narasumber. Pastikan Anda mengikuti Instagram JALA di @jalaindonesia agar tidak ketinggalan informasinya. Sampai jumpa di webinar berikutnya!