Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan menggambarkan banyaknya volume air yang jatuh ke permukaan bumi. Selama beberapa tahun terakhir, terjadi dua periode puncak musim hujan di Indonesia, yaitu di awal tahun dan di akhir tahun. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada Februari dan terendah pada bulan Agustus. Pergantian musim dari musim hujan ke musim kemarau dimulai bulan April. Adapun pergantian musim dari kemarau ke musim hujan di mulai di bulan September.
Dengan budidaya udang yang bersifat outdoor atau dilakukan di luar ruangan, curah hujan berperan sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi kualitas air budidaya udang.
Bagaimana mekanisme hujan mempengaruhi kondisi tambak?
Hujan memiliki efek langsung dan tidak langsung terhadap budidaya udang. Hujan akan mempengaruhi kualitas air yang kemudian berpengaruh pada penurunan laju pertumbuhan udang.
Terganggunya kualitas air akibat hujan
Hujan berdampak pada penurunan suhu, sekitar 5-6℃. Air hujan juga memiliki kadar keasaman (pH) yang relatif rendah, yaitu 6,2-6,4 pada area non-industri. Dua parameter tersebut dari air hujan dapat berdampak langsung pada air tambak udang.
Stratifikasi atau tidak meratanya suhu air akan terjadi akibat hujan, terutama pada air dasar. Sinar matahari akan menaikkan kembali suhu air, atau jika hujan terjadi sepanjang hari dapat dibantu adanya aerator (kincir) yang akan membuat air menjadi kembali homogen.
Penurunan suhu akan menurunkan konsumsi pakan, sekitar 10% (berat kering) untuk setiap derajat Celcius penurunan suhu. Jika penurunan suhu air 3-5℃ maka penurunan konsumsi pakan dapat mencapai 30%.
Suhu yang rendah akan membuat udang mencari air yang lebih hangat dan sebisa mungkin jauh dari permukaan air untuk menghindari suara atau percikan hujan. Artinya, udang memungkinkan akan ke dasar kolam yang justru sedang mengalami penurunan DO.
Plankton drop dan memicu ledakan bakteri
Plankton drop, khususnya pada mikroalga dapat terjadi setelah hujan. Diakibatkan oleh beberapa faktor yang terlibat seperti penurunan pH air, penurunan konsentrasi mineral dan unsur hara mikro, dan karena rendahnya intensitas sinar matahari.
Akibatnya, bakteri heterotrof yang memiliki peran dalam dekomposisi materi organik akan meningkat seiring ketersediaan nutrisi dari alga yang mati dan mengendap di dasar kolam. Anoksia atau kondisi kekurangan oksigen di dasar kolam dapat terjadi akibat aktivitas bakteri dan turunnya produksi oksigen oleh alga. Sehingga peran aerator menjadi semakin penting karena jika tidak dikontrol justru akan semakin menurunkan pH.
DO, pH, dan suhu yang turun pada musim hujan yang panjang akan menciptakan lingkungan yang kurang ideal bagi udang. Vibrio menyukai kondisi tersebut dan berpotensi untuk mendominasi bahkan menjadi patogen. Jika rasio pakan normal terus dilanjutkan maka pakan akan terbuang dan semakin tinggi terjadi dekomposisi bakteri.
Pengenceran mineral mengganggu homeostasis dan molting udang
Tingginya volume air hujan yang masuk ke dalam kolam akan menyebabkan pengenceran salinitas dan kesadahan akibat penurunan konsentrasi ion dalam air. Jika ini terjadi pada saat udang di fase molting maka prosesnya akan terganggu, terutama post-molting saat udang membutuhkan absorbsi mineral kalsium dan magnesium untuk membentuk kulitnya.
Penurunan salinitas dan kesadahan memang tidak berdampak langsung pada kematian udang, tetapi memiliki efek signifikan pada homeostasis (keseimbangan internal) udang. Kekurangan mineral juga memicu terganggunya molting pada udang yang justru akan melemahkan imun dan udang mengalami soft shell.
Memahami mekanisme hujan mempengaruhi kondisi tambak akan membuat petambak memiliki rencana preventif untuk mempertahankan kondisi tambaknya tetap optimal dan tidak mengganggu produksi. Jadi, sudah siap menghadapi musim hujan?