Semakin hari budidaya semakin sulit. Ungkapan ini nampaknya cukup familiar di kalangan petambak udang di Indonesia, atau bahkan mungkin juga terjadi di negara lain pusat penghasil udang. Berbagai tantangan terus menguji dunia budidaya udang mulai dari penyakit, efisiensi pakan, cuaca tidak menentu, fluktuasi harga udang, hingga kondisi alam yang sudah tidak lagi mendukung. Tetapi benarkah alam yang sudah tidak mendukung budidaya? Atau justru alam sudah terbebani dengan aktivitas manusia, termasuk aktivitas budidaya?
Alam dan manusia sudah selayaknya berjalan beriringan. Manusia membutuhkan jasa alam dalam menyediakan sumber daya sebagai sumber kehidupan. Tetapi yang terjadi saat ini, keseimbangan alam telah bergeser karena jenuh oleh hasil samping aktivitas manusia. Dalam hal aktivitas budidaya, hasil samping (limbah) belum mendapat perhatian yang cukup dari kebanyakan petambak di Indonesia.
Petambak masih pikir-pikir untuk membangun instalasi manajemen limbah terutama terkait modal dan keterbatasan lahan. Selain itu juga kurangnya pengetahuan untuk menerapkan manajemen limbah yang memberikan perubahan pada efektivitas budidaya. Petambak lebih memilih langkah praktis dengan langsung membuang air sisa budidaya langsung ke laut atau sungai. Padahal di dalamnya terkandung banyak sekali senyawa organik yang menjadi 'PR' bagi alam untuk mendaurnya.
Berbicara mengenai keselarasan antara tambak dan lingkungan, ternyata tambak berpotensi menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan jika tidak dikelola dengan bijak. Tambak menimbulkan sejumlah permasalahan lingkungan, diantaranya:
- Penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan dan air hasil budidaya yang dibuang langsung ke lingkungan di sekitarnya yang menyebabkan eutrofikasi,
- Konversi lahan pertanian menjadi tambak udang,
- Konversi ekosistem pesisir termasuk hutan mangrove menjadi tambak udang,
- Persebaran penyakit ke populasi udang liar di alam,
- Sedimentasi atau pendangkalan di muara.
Manajemen limbah, baik yang berupa padat maupun cair sebaiknya dilakukan selama budidaya berlangsung maupun setelah panen. Perlakuan terhadap limbah ini meliputi pengendapan partikel di dasar kolam, kemudian endapan dikeluarkan dari kolam, selanjutnya endapan diperlakukan untuk menurunkan konsentrasi limbah sebelum dibuang ke sungai atau laut. Limbah (cair atau padat) juga dapat digunakan untuk keperluan lain seperti untuk pupuk pertanian.
Limbah utama dari tambak adalah amonia, biasanya ditemukan dengan konsentrasi yang tinggi di muara. Amonia (dan juga senyawa nitrogen lainnya: nitrat dan nitrit) berbahaya karena dapat menjadi pemicu eutrofikasi hingga blooming alga di laut atau muara. Limbah yang tidak diberi perlakuan sebelum dibuang juga dapat menyebarkan penyakit, terutama limbah buangan dari tambak yang mengalami penyakit pada udang budidayanya. Apalagi kebanyakan petambak mengandalkan air langsung dari alam/laut untuk budidaya. Pada akhirnya limbah akan dapat kembali ke tambak, dan menyebabkan beberapa masalah:
- Peningkatan penggunaan sarana prasarana perlakuan air laut sebelum masuk kolam budidaya
- Kemelimpahan mikroorganisme patogen (bakteri, parasit, virus)
- Peningkatan tingkat keparahan penyakit udang yang dapat menyerang
- Fluktuasi alkalinitas
- Peningkatan laju nitrifikasi
- Toksin algae, terutama golongan BGA dan Dinoflagellata
Bukan tidak mungkin pada suatu masa, alam akan 'lelah' memberikan jasa ekologinya pada kita -khususnya pada proses budidaya- jika tidak memperhatikan keseimbangan dan kapasitas lingkungan. Meskipun, banyak juga petambak yang mulai peduli dengan tidak membuang langsung limbah budidayanya ke lingkungan dengan memberi perlakuan terlebih dahulu sebelum benar-benar dibuang ke lingkungan. Kepedulian semacam ini yang seharusnya juga dimiliki segenap pelaku budidaya udang di Indonesia, karena budidaya bukan hanya untuk saat ini tapi juga seterusnya hingga ke generasi berikutnya.