Penyakit Udang

Menangani Penyakit Udang dan Kualitas Air dengan Cara Terkini

Vanessa
Vanessa
29 Oktober 2023
Bagikan artikel
Cover - PCR JALA Lab.jpg

Dalam menjalankan budidaya udang, petambak sering diperhadapkan dengan ancaman Acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND) dan White Feces Disease (WFD), dua penyakit yang kerap melanda tambak udang. Dalam upaya pencegahan penyakit di tambak udang, petambak perlu secara aktif membangun kebiasaan untuk memantau kualitas air dengan rutin. Untuk membekali petambak dengan wawasan yang dibutuhkan tentang penyakit udang vaname dan kualitas air, JALA mengadakan mengadakan webinar online SHRIMPS TALK pada 26 Oktober 2023 lalu.

SHRIMPS TALK kali ini kedatangan dua narasumber yaitu Sidrotun Naim, M.P.A, Ph.D (Doktor Udang dan Ilmuwan Akuakultur) yang membawakan topik Tren Data Penyakit Udang, serta Dr. Supono, S.Pi., M.Si. (Dosen Jurusan Perikanan dan Kelautan UNILA dan praktisi budidaya udang) yang membawakan tentang Variabel Kualitas Air Tambak yang Harus Diwaspadai. Sebanyak 124 audiens hadir di webinar ini.

Tren Data Penyakit Udang

Screenshot 2023-10-27 150024.png

Pada sesi pertama, Dr. Naim membagikan tren positivity rate penyakit udang. Secara umum, beberapa wilayah mengalami dua infeksi penyakit sekaligus (double infection) yaitu AHPND dan EHP, dan beberapa mengalami double infection WSSV dan AHPND pada musim penghujan. Selain itu, peningkatan IMNV didominasi dari wilayah barat Indonesia. EHP di Indonesia pertama kali dideteksi pada Desember 2022 dari wilayah Bangka dan Sulawesi, kemudian ditemukan peningkatan kasus dari beberapa wilayah sentra budidaya.

Di antara berbagai sampel biotik dan abiotik, sampel udang memiliki positivity rate tertinggi yaitu di atas 24% pada DoC 10-30. Selain itu, hal yang menjadi perhatian untuk hatchery adalah positivity rate dari pakan udang hidup yang berpotensi menjadi carrier patogen pada benur.

Dr. Naim menghimbau petambak tentang kerugian yang dapat terjadi karena penyakit udang vaname. Menurut data, di tambak yang bebas penyakit, 90% udang dapat bertahan dan dipanen. Di sisi lain, petambak yang tambaknya mengalami penyakit udang dapat menanggung kerugian sebesar 125%. Karena itu, pemeriksaan rutin sangat penting untuk meminimalisir kerugian yang disebabkan oleh penyakit.

Dalam budidaya udang sendiri, ada beberapa titik kritis tempat penyakit dapat masuk. Beberapa titik sebetulnya mudah dikontrol, seperti air, pakan udang, dan hatchery. Namun, yang menjadi tantangan bagi petambak adalah melakukan deteksi rutin terhadap benur mereka sebelum ditebar.

Variabel Kualitas Air Tambak yang Harus Diwaspadai

Screenshot 2023-10-27 150121.png

Pada presentasi kedua, Dr. Supono menjelaskan bahwa lingkungan berperan penting terhadap kesehatan udang. Variabel seperti oksigen terlarut (DO), suhu, pH, dan amonia menentukan apakah patogen dapat bertahan di tambak. Lingkungan yang kurang ideal menyebabkan udang kehilangan nafsu makan dan lebih rentan stres, sehingga imunitasnya melemah dan menjadi lebih mudah terserang penyakit.

Baca juga: Pentingnya Monitoring Kualitas Air dan Cara Pembacaan Hasilnya

Karena itu, petambak perlu mewaspadai perubahan parameter di tambak mereka. Yang pertama adalah suhu. Jika suhu menurun, nafsu makan udang juga akan menurun. Untuk mengatasinya, petambak dapat memaksimalkan penggunaan kincir tambak.

Selain itu terdapat juga variabel DO. Indikasi DO menurun adalah udang yang mengambang di permukaan kolam. Untuk menaikkan DO, dolomit dapat diaplikasikan agar mengikat CO2 berlebih. Pergantian air rutin juga disarankan. Selain DO, parameter berikutnya yang perlu dimonitor adalah pH. Jika pH terlalu tinggi, petambak dapat mengurangi kepadatan fitoplankton dan meningkatkan kapasitas buffer dari air melalui aplikasi dolomit.

Selain parameter fisika dan kimia, petambak juga perlu memantau variabel mikrobiologis di tambak, seperti blooming fitoplankton. Fitoplankton dianggap dalam kondisi blooming jika kepadatannya mencapai 100.000 sel/ml, dan ini dapat terjadi karena overfeeding atau manajemen pakan udang yang kurang baik. Akibatnya, oksigen menjadi terlalu tinggi di siang hari dan terlalu rendah di malam hari, dan dapat meningkatkan konsentrasi amonia serta memicu kematian massal.

Untuk mengatasinya, petambak perlu mengoreksi program pakan dan menggunakan pakan udang berkualitas tinggi. Biofilter dari bakteri nitrifikasi, tanaman air, ikan nila, dan kerang hijau juga dapat digunakan untuk menyerap amonia berlebih. Tak hanya itu, Dr. Supono pun membagikan pentingnya penggunaan IPAL untuk mengurangi konsentrasi total organic matter (TOM), total suspended solids (TSS), dan patogen di air kolam.

SHRIMPS TALK yang ke-11 ini membawa banyak insight baru bagi para audiens, yang turut antusias menanyakan berbagai pertanyaan tentang topik yang dibawakan. Melalui rangkaian diskusi ini, JALA berharap petambak dapat mencapai budidaya yang lebih produktif berkelanjutan.

Jika Anda terlibat dalam industri budidaya udang dan ingin mendapat informasi, tips, dan wawasan terkini, ikuti Instagram JALA di @jalaindonesia agar tidak ketinggalan jadwal SHRIMPS TALK dan acara lainnya dari JALA. Sampai jumpa di SHRIMPS TALK berikutnya!

Ikuti Berita Terbaru JALA

Dapatkan pemberitahuan tips budidaya, update fitur dan layanan, serta aktivitas terkini JALA.